Tidak Jauh Berbeda
Ditulis oleh Eleanor Permata
27 Mei 2022
"Kalau mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda, percaya keyakinan yang berbeda, atau berasal dari ras yang berbeda. Apa yang harus kita lakukan?" "Hormati mereka!" Semua siswa mengatakan hal yang sama.
Menghormati dan toleransi merupakan tindakan yang cukup sederhana, namun tampaknya sulit bagi mereka yang menilai tanpa terlalu cepat.
"Hei Risha, kamu dapat berapa buat ujian IPS globalisasi kemarin?" "100" "Apa? Yang bener aja!" seru Yanto. "Kalau kamu belajar daripada main bola tiap hari, Yanto, pasti kamu dapat diatas KKM lah!" Setelah aku membuat pernyataan tersebut, Yanto terengah-engah di kursinya, menjulurkan lidahnya dan menolak saran aku. Saraswati, yang duduk di sebelah kanan saya,
memerintahkan untuk tetap tenang sebelum kita mulai beradu mulut dan mengganggu pembelajaran pagi hari ini.
Sekolah selalu menjadi rumah kedua bagi aku dan setiap murid, dikelilingi oleh banyak teman, guru yang baik, dan mata pelajaran yang menarik untuk dipelajari. Setiap hari, kita melihat wajah yang sama, dan mungkin juga wajah baru, mereka semua hadir dalam sekolah dengan tujuan yang sama yaitu memperoleh pendidikan.
Namun, setiap orang unik dengan caranya sendiri,
dengan karakteristik dan tampilan mereka yang berbeda membedakan mereka dari orang lain.
Seperti teman-temanku, Saraswati adalah orang yang rendah hati, yang telah menjadi sahabatku seumur hidup. Yanto adalah orang menyebalkan yang bermain sepak bola setiap hari di sekolah dan di rumah namun berhasil lulus kelas. Satya, sahabat Yanto,
kacamata yang ia pakai menunjukkan bahwa ia sangat berpengetahuan tetapi dia pelit ilmu dan terlihat sedikit egois.
"Hei! Jangan bengong terus dong" "Ugh! bengong matamu!” Aku meraih buku di atas meja dan menggulungnya, bersiap untuk menampar wajah Yanto. Yang lain melihat dengan bingung, Satya tertawa di belakang dan Saraswati mencoba menahanku.
"Kalian berdua!" suara yang familiar mengatakan. "Berhenti bertingkah seolah-olah kamu sudah menikah!"
"Kita tidak-" Aku dan Yanto berbicara bersamaan namun terhenti saat kami menyadari bahwa orang yang kami ajak bicara tidak lain adalah Bu Marsinah sendiri. Matanya terlihat berkobar dengan api yang membakar, tampaknya menyeramkan. Aku dan Yanto segera bermohon maaf beberapa kali.
"Huft ini berdua, ya sudahlah .. para siswa silahkan duduk; Ibu punya pengumuman untuk kalian."
"Kami kedatangan siswa baru dari Filipina, dia akan belajar di sekolah kami, silahkan perkenalkan diri kamu kepada yang lain Maria," di belakang bu Marsinah, seorang gadis kecil yang tidak terlihat sedikit berbeda dari kita. Dia menutupi dirinya dari sepuluh atau lebih murid yang menatapnya.
"Jadi, boleh beri tahu berapa usia kamu, hobi dan semuanya!” kata Bu Marsinah dengan gembira. Semua pertanyaan yang ditujukan kepada Maria disambut dengan kerutan bingung. Bu Marsinah menunggu beberapa menit dan masih tidak mendapat jawaban. Kemudian, ruangan menjadi hening sampai ia berkata, "Ehm sepertinya Maria perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Silakan duduk di belakang." Bu Marsinah memberi isyarat dan Maria mengikuti.
Saat Bu Marsinah mulai mengajar, ruangan kembali hening, dan pandangan semua orang tertuju pada siswi asing itu. "Ih dia aneh- OW!" Aku memukul wajah Yanto dengan buku yang baru tadi kugulung. “Emang kamu nggak mendengar apa Ibu katakan? Dia mungkin gugup." Aku menggerutu marah.
"Tetapi Yanto benar; dia memang tampak sedikit aneh, bukan begitu?" "Dia bahkan tidak menjawab pertanyaan Bu Marsinah," gumam Satya. "Lebih baik kita tidak mendekatnya."
Aku mempertimbangkan pernyataan Satya sebelum menoleh ke Maria. Dia hanya melihat ke luar jendela di sebelahnya ke langit biru cerah sementara sisa kelas mengobrol, belajar, atau berlari-larian. Beberapa teman sekelas kita mendekatinya dan mengajak ngobrol, tetapi Maria hanya duduk terdiam dengan ekspresi bingung, membuat susana antara mereka canggung.
"Kenapa dia cuek sih? Aku nggak suka."
"Apakah dia nggak tahu bagaimana berkomunikasi dengan orang lain?"
Ada dua siswa laki-laki yang menghampirinya, kesan mereka tidak baik, “Hei aneh, kalau orang lain ngomong jangan diam-diam aja kek.” Salah satunya berkata, Maria hanya menunduk kepalanya, matanya tampak berkaca-kaca. "Dia bertingkah seolah-olah dia tidak mengerti bahasa Indonesia, Aneh."
Akhirnya murid yang lain menyuruh kedua lelaki tersebut untuk membiarkan Maria.
Maria beringsut lebih dekat ke tempat duduknya, meskipun dia tampaknya tidak mengerti apa yang mereka katakan.
Seolah-olah Maria tahu dari ekspresi dan bisik-bisikan mereka.
Melihat Maria sedih membuatku berpikir sejenak sebelum menemukan ide. Bu Marsinah memang menyebutkan bahwa Maria berasal dari Filipina.
Aku meringkuk dengan kelompokku, lalu meminjam handphone Bu Marsinah dan memulai rencana kami.
Aku mendekati Maria yang sendirian dengan ekspresi putus asa di wajahnya. Memberikan isyarat kepada Maria untuk duduk bersamanya dan teman-temanku tanpa berkata apa-apa. Maria mengangguk ragu-ragu dan duduk di depan keempat teman aku. Kemudian dengan aksen terputus sambil menoleh ke arah jendela Yanto berkata, “Napakaganda ng asul na langit ngayon. hindi ya?”
(“Langit biru terlihat sangat cantik hari ini. Bukan?”). Tiba-tiba, wajah Maria berseri-seri.
“Sa tingin ko ako ang pinaka maganda ngayon!” (Sepertinya aku terlihat paling cantik hari ini!) Saraswati berkata dengan percaya diri, “Kasinungalingan!" (Bohong!) Satya menggerutu.
Semua orang termasuk aku tampak terkejut dengan kebahagiaan Maria yang tampak. Bahkan tanpa pembelajaran Tagalog yang benar, kita dapat membuat seseorang merasa nyaman dan tidak dikucilkan oleh yang lain. Siswa lain pun berkumpul di sekitar kami, memegang handphone,
dan menggunakan teknologi simpel untuk membantu mereka memahami teman baru kami.
Di akhir pembelajaran, kita bersama Maria berjalan menuju gerbang sekolah. Tapi sebelum pergi, seorang laki-laki yang tampaknya setengah umur kami, berlari menuju Maria dan menggenggamnya. Dengan senyuman yang lebar, anak tersebut menoleh ke kita dan memberi seperti isyarat tangan. Aku dan teman-temanku yang lain merasa bingung dengan apa yang ia telah ‘katakan’ tetapi Satya menuju kepadanya dan memberikan isyarat kembali sambil berkata,
“Be.. nar.. Kita.. teman.. kakak.. Maria.” Adik yang manis tidak mengeluarkan satu kata dan hanya tertawa dengan gembira.
Satya melihat kita yang ada di belakangnya, “Ch- akhirnya pembelajaran Bahasa Isyarat Amerika tidak sia-sia!” “Iya-iya terserah kamu Sat,” Yanto katakan yang tampaknya lelah dengan temannya. Aku, Saraswati, dan Maria hanya bisa tertawa kecil dengan sikap kedua lelaki tersebut.
Maria dan adiknya melambaikan tangan mereka dan menuju kepada ayah mereka yang menjemput keduanya. Setelah itu, Aku dan teman-temanku berjalan ke rumah masing-masing, sebelum langit menjadi gelap.
“Pada akhirnya, walaupun teman-temanku, Maria dan adiknya berbeda kita tetap manusia yang sama,” aku berpikir sambil melihat matahari terbenam yang cantik depanku. “Yang tidak jauh berbeda.”
Lanjut Cerita Lain